Sudah sepantasnya
jika seluruh masyarakat Ponorogo bersikap bangga atas segala nilai seni dan
kekayaan budaya yang dimiliki. Budaya dan seni yang ada di Ponorogo merupakan
warisan leluhur yang penuh dengan nilai sejarah panjang hingga mampu
menciptakan sebuah identitas khas bagi masyarakat Ponorogo. Festifal Reog,
Kirap Pusaka dan Larung Risalah Doa merupakan bagian dari beberapa agenda
kegiatan rutin yang dilaksanakan satu tahun sekali dalam rangka memperingati ulang
tahun Kabupaten Ponorogo dan juga menyambut datangnya tahun baru Hijriah yaitu
1 Muharam atau akrab dikenal dimasyarakat dengan istilah 1 Suro.
Masyarakat Ponorogo
yang terdiri dari berbagai lapisan dan latarbelakang ternyata beragam dalam
menyikapi agenda tahunan berupa kegiatan Grebek Suro. Sebagian masyarakat
menganggap bahwa acara Grebek Suro harus terus dilestarikan dan dijaga, karena
sarat dengan nilai budaya dan sakralitas keyakinan yang terdapat dalam beberapa
ritual, sampai pada tingkat dikembangkan dan terus untuk dikenalkan kepada
masyarakat luas bahkan dunia Internasional. Namun sebagian masyarakat lainnya
menganggap bahwa hal ini adalah bagian dari penyimpangan akidah
(baca:keyakinan) dalam beragama (Islam).
Agenda kegiatan berupa
Kirap Pusaka dan Larung Risalah Doa ini perlu dihentikan dan dihilangkan dari
masyarakat karena sudah tidak waktunya lagi masyarakat melakukan ritual budaya
yang berpengaruh pada atau merusak akidah. Karena masyarakat sekarang (modern)
sudah mampu menilai dan mempertimbangkan terhadap pengaruh-pengaruh keyakinan
dalam beragama. Sehingga sistem akulturasi budaya (dakwah) pada zaman dahulu
dengan sekarang sudah jauh berbeda.
Disadari ataupun
tidak, dengan terus dilestarikannya nilai-nilai kebudayaan ini telah mendorong
pada terjadinya konflik internal pada masyarakat Ponorogo yang tentunya hal ini
sudah tidak perlu untuk diteruskan dan dikembangkan. Karena keduanya memang
berangkat dari sudut pandang yang berbeda. Keduanya tidak akan pernah menemukan
titik tengah. Dari sudut pandang budaya dan ekonomi memang kegiatan Grebek Suro
(dalam hal ini Ritual Kirap Pusaka dan Larung Risalah Doa) ini harus terus
dilestarikan dan dikembangkan. Karena sangat berpengaruh pada signifikansi
perkembangan daerah Ponorogo untuk terus mengenalkan kekayaan nilai-nilai seni
dan budaya kepada masyarakat luas dan Internasional. Bahkan sangat berpengaruh
kepada peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. Dengan demikian acara Agenda
Grebek Suro ini merupakan kegiatan yang efektif untuk memperkenalkan Ponorogo
kepada dunia secara luas.
Disisi lain,
sebagian masyarakat yang melihat dari sudut pandang agama (baca:
akidah/keyakinan) bahwa agenda kegiatan Grebek Suro ini, misalkan Kirap Pusaka
dan Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel merupakan bagian dari rusaknya akidah
masyarakat Ponorogo. Sebagian dari masyarakat meyakini bahwa beberapa proses ritual
budaya yang dilakukan ini mengandung nilai atau unsur keberkahan yang bisa
berpengaruh kepada kehidupan masing-masing individu untuk berubah menjadi lebih
baik dan sejahtera.
Misalkan proses
pelaksanaan Larung Risalah Doa yang dilaksanakan pada hari Selasa kemarin (05
November 2013) di Telaga Ngebel dengan dihadiri ribuan masyarakat, secara mitos
bahwa barang siapa yang mampu mengambil dan mendapatkan bagian dari Buceng yang
berisikan hasil bumi (buah-buahan dan sayuran) maka akan mendapatkan keberkahan
dan hidupnya akan menjadi lebih baik dan sejahtera. Keyakinan pada mitos yang
demikian ini adalah bagian dari rusaknya akidah seseorang. Jika hal ini terus
dibiarkan, maka akan banyak sekali masyarakat yang terjerumuskan pada
kemusyrikan.
Namun bagusnya pada
pelaksanaan Ritual Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel, sang pembawa acara
memberikan sebuah penjelasan dan keterangan kepada masyarakat bahwa hal
demikian adalah bagian dari mitos yang selama ini berkembang pada masyarakat. Sebagian
masyarakat tentunya masih banyak yang mempercayainya. Hal ini dibuktikan dengan
saling berebutnya masyarakat untuk mendapatkan buah-buahan atau sayuran yang
terdapat pada buceng. Indikasi ini menunjukkan bahwa masyarakat mengharapkan
adanya keberkahan dan perubahan dalam hidupnya dengan mendapatkan buah ataupun
sayuran yang mereka dapatkan.
Menurut hemat
penulis, dengan mengamati proses pelaksanaan Ritual Budaya (misalkan Kirap
Pusaka dan Larung Risalah Doa) tidak perlu lagi untuk dipermasalahkan dan diperdebatkan.
Karena ritual budaya ini merupakan warisan budaya yang sudah berproses secara turun-temurun
yang patut untuk terus dilestarikan dan dijaga. Namun disisi lain kita harus
terus memberikan pengertian dan pencerahan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya
kegiatan budaya ini sebatas pada pelestarian budaya yang sarat dengan
nilai-nilai seni agung yang tercipta dari proses akulturasi budaya ratusan
tahun lalu. Dengan demikian diharapkan masyarakat Ponorogo bisa memahami dan
mengerti makna dan esensi dari budaya Poronogo secara komprehensif. Sehingga
kedua pemahaman dan sudut pandang yang seolah-olah berseberangan ini bisa bersanding
dengan pengertian dan pemahaman masing-masing.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar