Ketahuilah bahwa segala sesuatu berpeluang untuk ternoda dan tercampuri oleh
unsur lain. Bila ia bersih dari noda dan campuran, barulah itu disebut murni.
Karena itu, perbuatan yang telah bersih dari segala noda dan campuran disebut
ikhlas (murni). Siapa yang melakukan sebuah perbuatan biasanya mempunyai tujuan
tertentu. Kalau tujuannya hanya satu, maka perbuatan itu disebut ikhlas. Hanya
saja, seperti yang dikenal secara umum, istilah ikhlas dimaksudkan sebagai
aktivitas ibadah yang semata-mata hanya ditujukan kepada Allah. Sama halnya
dengan istilah ilhad. Pada mulanya ia berarti kecenderungan, tetapi kemudian
secara umum dikenal sebagai sikap berpaling dari kebenaran.
Karena itu, kita biasa mengatakan bahwa motivasi sebuah perbuatan bisa rohani semata, yaitu ikhlas. Atau bersifat setani semata, yaitu riya. Atau bisa pula campuran antara keduanya, entah aspek rohaninya yang lebih kuat atau aspek nafsu dan setannya.
Motivasi yang bersifat rohani hanya dimiliki oleh mereka yang cinta kepada
Allah dan cenderung kepada-Nya. Dalam kalbunya tak ada lagi tempat untuk cinta
dunia. Dengan demikian semua perbuatan dan gerakan amaliahnya dilandasi oleh
sifat ikhlas tersebut. Tidaklah ia memenuhi hajat keperluannya, seperti makan
dan minum, tidur, kecuali sebatas keperluan untuk melaksanakan amal ibadah
ketaatan. Dalam kondisi demikian, maka semua gerak dan diamnya merupakan amal
yang ikhlas.
Sedangkan motivasi yang dipenuhi nafsu dimiliki oleh mereka yang cinta
pada hawa nafsu dan dunia. Dalam dirinya tak ada lagi tempat bagi cinta kepada
Allah. Maka, semua perbuatannya terwarnai oleh sifat tersebut sehingga tak
satupun ibadahnya yang selamat dan bersih.
Ketika motivasi rohani dan motivasi nafsu berimbang, pendapat terkuat
menurut Imam Fakhr al-Din al-Razi adalah keduanya saling berbenturan dan
berjatuhan. Sehingga amal yang ada tidak memberikan nilai positif atau negatif
sama sekali.
Sementara jika salah satunya lebih berat, maka sisi yang lebih
berat itu dikurangi oleh beban sisi lainnya. Sehingga yang tersisa itulah
yang dihitung dan mendapat balasan. Inilah yang bisa dipahami dari firman
Allah, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walaupun seberat biji zarah,
niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan
walaupun seberat biji zarah, niscaya ia kana melihat balasannya.” (Q.S.
Al-Zalzalah:7-8)
Semua perbuatan memberikan pengaruh terterntu ke dalam kalbu. Apabila amal
tersebut penuh (bebas dari kontradiksi), maka pengaruhnya pun penuh. Sementera
apabila ia bercampur dengan sesuatu yang bersifat kebalikannya, jika bobotnya
sama, keduanya akan berguguran. Sedangkan apabila yang satunya lebih berat, ia
dikurangi dengan beban sisi lainnya. Sehingga, sisayang ada menjadi murni dan
itulah yang memberikan pengaruh.
Makanan, minuman, dan obat, meskipun hanya seberat biji zarah, tetap bisa memberikan pengaruh tertentu
kepada tubuh. Demikian pula dengan kebikan dan kejahatan. Walaupun hanya
seberat biji zarah, ia akan memengaruhi dekat atau tidaknya seseorang dari
Allah. Ketika seseorang melakukan sebuah amal perbuatan yang membuatnya dekat
kepada Allah sejarak satu jengkal, namun ia juga melakukan perbuatan yang
membuatnya jauh dari Allah sejarak satu jengkal pula, maka nilainya kosong. Ia
tak mendapat apa-apa. Namun, apabila salah satu perbuatan tersebut membuatnya
dekat kepada Allah sejarak dua jengkal, dan perbuatan yang buruk membuatnya
jauh dari Allah sejarak satu jengkal, maka yang ia dapatnkan cuma satu jengkal.
Mereka yang berpendapat bahwa amal perbuatan yang bercampur dengan hal lain
tidak mendapatkan pahala diantaranya berasalan dengan riwayat Abu Hurayrah r.a.
dimana Nabi saw. Bersabda, “Aku (Allah) adalah yang paling tidak butuh kepada
sekutu. Maka siapa yang beramal lalu menyekutukan selain-Ku, Aku berlepas diri
darinya.” Hemat saya, kata sekutu dalam hadits diatas mengarah pada kesamaan
bobot antara dua sisi. Sementara seperti yang telah kami jelaskan, dalam posisi
yang sama atau berimbang, masing-masing menjadi gugur.
Ketahuilah bahwa bisikan dan lintasan pikiran yang
buruk bisa masuk ke dalam berbagai bentuk ibadah, berbagai kebajikan, dan rasa
cinta pada kemuliaan. Hal itu terus ada bersama manusia sampai ia tulus dan
ikhlas. Ketika sudah ikhlas, ia akan berpisah dengannya dan akan benar-benar
bersyukur dan berbuat aik. Karena itu, ikhlaskanlah dalam beramal. Dan kalau
engkau sudah berada dalam wilayah ikhlas, engkau tidak akan menganggap dirimu
sedang berada dalam kedudukan ikhlas.
(Ibnu 'Athaillah al-Sakandari, Terapi Makrifat Zikir Penenteram Hati,
Penterjemah Fauzi Faishal Bahreisy, Penerbitzaman, Jakarta, 2013, hal 61-65)
Keikhlasan adalah rahasis antara Allah dan
hamba-Nya. Malaikat pencatat tidak mengetahui sedikitpun mengainya untuk dapat
ditulisakannya, setan tidak mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya, nafsu
pun tidak menyadarinya sehingga ia tak mampu memengaruhinya. (Junayd
al-Baghdadi)
Hanya dengan terus belajar mengawi batin kita akan
mampu sejauh mana gerak diri kita. Hati selalu berbolak-balik bagaikan burung
pipit yang sedang terbang, lebih licin dari pada licinnya belut, banyak
lepasnya saat dipegang, dan banyak lalainya saat ditinggal aktivitas amaliah.
Batin rumahnya ikhlas, dengan merawat rumahnya agar menjadi rumah yang baik,
maka ikhlas akan betah berada didalamnya. Disaat ia betah berada di dalam rumah
itu, maka ia akan memunculkan karamah-karamah kebaikan yang berasal dari cahaya
Allah.
Tidaklah ia peduli,
baik seorang pejabat, rakyat, kaya, miskin, berfisik baik ataupun buruk,
berstatus sosial rendah ataupun tinggi, semuanya sama. Sama-sama berpeluang untuk
berlomba-lomba menjadi kekasih tercintanya Allah. Kemaha Adilan Allah meliputi
segalanya, sehingga ia memberikan rasa ikhlas kepada siapa saja yang Dia
kehendaki. Semua orang berpotensi untuk menjadi baik ataupun buruk. Manusia
diberikan kemampuan untuk berpikir, bertindak, dan merasa, tergantung kepada
diri kita sendiri kita mau berjalan ke arah mana, “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Q.S. As-Syams:
7-10)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar